PROPOSAL SKRIPSI
REPOSITIONING PRODUK A
Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Repositioning PRODUK A melalui kampanye iklan - iklannya
Repositioning PRODUK A (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Repositioning PRODUK A melalui kampanye iklan – iklannya)
Terdapat 140.000 iklan televisi yang dilihat oleh seorang anak yang telah berusia delapan belas tahun di Inggris. Di Swedia, rata – rata konsumen menerima 3000 iklan setiap harinya. Sebelas negara di Eropa telah mengudarakan lebih dari 6 juta iklan televisi per tahun. Para ahli mengatakan bahwa akan terjadi penambahan dari 150 saluran televisi menjadi 500 di Amerika (Rivkin 2000:74-75). Ini menunjukkan bahwa semakin banyak produk dan merek yang muncul di pasar. Setiap minggu pasti ada puluhan merek baru beredar di pasar, tidak tahu siapa produsennya tetapi membuat pasar penuh sesak dan persaingan merek semakin menggila (Majalah Swa 9-22 Agustus 2007). Ini membuat sebuah positioning atau penempatan merk yang tegas semakin diperlukan, agar merek tersebut bisa tetap bertahan.
Penempatan merek ini tentu saja ada dalam benak pelanggan. Melalui positioning, pelanggan diberitahu apa benefit dari merek tersebut terhadapnya. Sebuah positioning sangat penting karena dengan positioning sebuah merek terlihat perbedaannya dengan merek lain dalam kategori produk yang sejenis. Hal ini yang memberi reason why bagi pelanggan untuk memilih merek tersebut bukan merek lain.
Seperti yang dilakukan Aqua ketika mendidik konsumennya agar beralih dari air PDAM ke air minum dalam kemasan. Aqua memposisikan dirinya sebagai air sehat setiap saat dan mengklaim produknya sebagai mountain spring water dengan kualitas air yang lebih baik dari air PDAM. Dengan positioning ini Aqua ingin mendidik konsumennya agar rutin mengkonsumsi Aqua. Dan positioning ini berhasil menancap di benak konsumen, Ini terlihat dengan berdirinya Aqua sebagai market leader air mineral. Total kapasitas grup Aqua adalah sekitar 1, 75 milyar liter per tahun. Bila Aqua menguasai sekitar 50%, maka total kapasitas produksi di Indonesia untuk air minum dalam kemasan sekitar 3, 5 milyar liter. Ini jumlah yang cukup besar untuk negara berkembang seperti Indonesia. (Irawan 2002:31-32). Ditambah lagi, Aqua adalah salah satu Long-Life Brand di Indonesia yang artinya sudah berusia lebih dari 25 tahun dan tetap eksis (Majalah Swa,26 Juli-8Agustus 2007).
Sebuah positioning harus dilakukan dengan dinamis. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, membuat situasi pasar juga berubah. Pelanggan yang dahulu berusia 8 tahun kini sudah mencapai 25 tahun. Pelanggan yang dulu disegmentasikan ke dalam golongan remaja kini telah menjadi wanita dan pria dewasa yang mapan. Hal ini juga turut mempengaruhi posisi merek bagi pelanggan. Jika situasi berubah sedemikian rupa, dan sikap pelanggan mulai berubah terhadap merek maka diperlukan suatu usaha pembenahan terhadap positioning merek tersebut. Harus dicermati apa yang menjadi penyebab berubahnya sikap konsumen terhadap merek, apa bagian dari merek yang masih melekat di benak konsumen. Dengan kata lain diperlukan sebuah repositioning bagi merek agar dapat kembali diterima oleh konsumen yang telah berubah. Seperti yang dilakukan oleh Cerebrovit.............................
METODE PENELITIAN
Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis, sehingga lebih mudah diolah (Suharsimi Arikunto, 2002:136).
Sedangkan instrumen pada penelitian ini adalah :
a) Stadiometer untuk pengukuran tinggi badan dengan satuan pengukuran sentimeter (cm), dengan ketelitian pengukuran satu angka dibelakang koma (0,1) dan telah diujikan di Dinas Meteorologi.
b) Timbangan badan untuk mengukur berat badan dengan satuan pengukuran Kilogram (Kg) dengan ketelitian pengukuran satu angka dibelakang koma (0,1) dan telah diujikan di Dinas Meteorologi.
Dari hasil rumus tersebut kemudian dimasukan dalam kriteria penilaian status gizi. Sebelum instrumen digunakan untuk mengambil data terlebih dahulu diujikan ke Dinas Meteorologi untuk mendapatkan kepastian alat yang digunakan benar-benar sesuai dengan standar internasional dan benar-benar memiliki reliabilitas yang baik.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode survei dengan teknik pengukuran.
Untuk pengambilan data siswa dipanggil satu-satu lalu diukur tinggi badan dan berat badannya secara langsung. Agar sesuai dengan rencana pada saat pengumpulan data maka perlu disusun langkah sebagai berikut :
a. Berat Badan
Berat badan dipergunakan untuk mengevaluasi keseimbangan asupan makanan dengan energi yang dikeluarkan untuk aktifitas. Penimbangan dilakukan oleh dua orang petugas, petugas pertama bertugas sebagai pencatat hasil dan memanggil testee satu per satu secara berurutan sedangkan petugas yang kedua bertugas sebagai pengamat dan melaporkan hasil pengukuran kepada petugas pertama. Pada waktu penimbangan testee menggunakan pakaian seminim mungkin dan tubuh dalam keadaan tidak berkeringat. Hasil pengukuran dengan satuan kilogram dengan ketelitian pengukuran 0,1.
b. Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan diperlukan sebagai parameter status gizi berdasarkan berat badan terhadap tinggi badan. Pengukuran dilakukan dengan sikap terdiri tegak tanpa sepatu. Pengukuran tinggi badan juga dilakukan oleh dua orang petugas. Petugas pertama bertugas sebagai pencatat hasil dan memanggil testee sesuai urutan. Sedangkan petugas yang kedua bertugas mengamati hasil dan melaporkannya kepada petugas pertama. Djoko Pekik (2006:07) menjelaskan bahwa pengukuran tinggi badan menggunakan pola sentimeter yang fleksibel dan tidak elastis yang ditempelkan secara vertikal pada dinding atau tiang tegak atau menggunakan alat pengukur tinggi badan “Microtoise”.
A. Judul Penelitian
HUKUMAN MATI PELAKU BOM BALI DALAM PEMBERITAAN MEDIA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN EKSKUSI MATI ”AMROZI CS” PADA SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN SURAT KABAR HARIAN REPUBLIKA)
B. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan ekskusi mati bagi Amrozi CS selaku terdakwa dalam kasus pengeboman di Kuta Bali sempat menggemparkan media pemberitaan, baik itu media cetak maupun media elektronik. Ekskusi mati yang dilaksanakan pada bulan ontober 2008 lalu telah disiarkan oleh media sejak beberapa minggu sebelumnya. Penyiaran tentang rencana ekskusi sampai dengan pelaksanaannya ini disajikan dengan berbagai versi.
Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta di pulau Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing (http://www.indo.com/bali121002/). Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Bom bali juga terjadi pada pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka. Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.)Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan bahwa serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang mirip dengan pengeboman tahun 2002 (Kompas, 11 November 2005).
A. Judul
B. Latar Belakang
Krisis moneter menimbulkan berbagai dampak negatif bagi seluruh aspek kehidupan di Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Hutang-hutang negara yang merupakan sisa-sisa dari pemerintahan Soeaharto semakin membebani pemerintah Indonesia ditengah-tengah situasi perekonomian yang sulit ini. Jalan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan ini antara lain adalah dengan membebankan hutang negara kepada rakyat dan mengurangi subsidi.
Subsidi untuk pendidikan, kesehatan, dan bahan bakar minyak (BBM) merupakan hasil dari kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto. Ketika kebijakan tersebut masih dilaksanakan, biaya pendidikan masih cukup terjangkau meskipun masih terdapat sebagaian kecil masyarakat yang tidak bias menikmati pendidikan yang layak karena ketidak mampuan untuk membayar, demikan pula dengan biaya kesehatan dan harga bahan bakar minyak masih terbilang murah dan cukup terjangkau.
Pengurangan subsidi diberbagai sektor tersebut mempersulit rakyat. Otonomi daerah sebagai hasil kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi negara untuk budget daerah mengharuskan pemerintahan daerah bersama rakyatnya mandiri untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Demikian pula dengan kebijakan otonomi pendidikan yang membuat sekolah-sekolah mau tidak mau harus sanggup mencari sumber dana secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Bagi daerah dan sekolah yang belum siap dengan perubahan keadaan ini memilih untuk membebankan sumber dana dari masyarakat. Misalnya saja, sekolah-sekolah yang memilih untuk menaikkan SPP dan menarik biaya-biaya ekstra untuk menghadapi hal ini.
Seiring dengan semakin sulitnya kondisi ekonomi negara, pengurangan subsidi inipun diperluas ke sektor lainnya. Semenjak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yaitu tepatnya sejak tahun 2006 pengurangan subsidi ini merambah ke sektor BBM. Harga minyak tanah, solar, dan premium pelan-pelan merambah naik. Isu yang beredar, naiknya harga premium akan berhenti pada kisaran nilai enam ribu rupiah. Hal ini dilakukan pemerintah dengan pertimbangan harga premium di Indonesia yang terbilang paling murah dibandingkan dengan negara-negara lain, melambungnya harga minyak di dunia, dan dengan alasan untuk mengalihkan subsidi BBM ini ke sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat miskin di Indonesia. Pemerintah berusaha untuk menunjukkan hal ini melalui pemberian beasiswa BBM bagi siswa dan mahasiswa yang berprestasi dan tidak mampu, asuransi kesehatan rakyat miskin, bantuan sembako, dan bantuan langsung tunai (BLT).
KEDUDUKAN KPUD DAN DPRD DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan politik di tanah air tampak terus berkembang. Rentetan peristiwa politik, mulai dari pemilihan umum legislatif pada bulan Mei 2004 kemudian pada bulan Oktober di tahun yang sama dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dua peristiwa politik itu telah memberikan pembaharuan politik di
Ketentuan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Sebelum UU ini disahkan, pilkada didasarkan pada UU No 22 Tahun 1999, Jo PP. No. 151 tahun 2000 tentang tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 sebenarnya telah mengatur ketentuan pemilihan daerah dengan cukup jelas, dimana sekitar 20 persen dari seluruh pasal dalam UU tersebut berkenaan dengan pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dalam UU tersebut diatur dalam 8 (delapan) tahap penting, antara lain: pembentukan panitia, pendaftaran, penyaringan tahap I, penyaringan tahap II, penetapan pasangan calon, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan dan pelantikan.
Secara prosedural, sebagian besar dari kedelapan tahap pemilihan yang diatur UU No. 22 Tahun 1999 itu memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPRD. Dari tahap-tahap tersebut pemerintah pusat hanya berwenang pada konsultasi, pengesahan dan pelantikan calon. Sementara, tahap-tahap lain yang menentukan menempatkan DPRD pada posisi yang sangat dominan. Besarnya wewenang yang diberikan kepada DPRD ini memunculkan bermacam persoalan yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas demokrasi dalam sistem pemilihan kepala daerah. Disamping itu, sebagaimana diungkapkan Dody Riyadmadji, posisi DPRD yang powerful tersebut ketika memasuki proses politik, pemilihan kepala daerah selalu diwarnai dengan politik uang.